Selasa, 25 Desember 2012

KAMPANYE PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Alisia Witanti (F1D210090)




Kampanye menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu gerakan (tindakan) serentak  (untuk melawan, mengadakan aksi). Sedangkan sosial adalah semua hal yang berkenaan dengan masyarakat. Jadi kampanye sosial, merupakan suatu gerakan yang dilakukan untuk mengubah perilaku sesuatu yang berkenaan dengan kelompok masyarakat agar menuju ke arah tertentu sesuai dengan gerakan yang dilaksanakan oleh pembuat kampanye.
Roger dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terancana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Dan agar masyarakat lebih menanggapi keberadaan suatu pesan yang disampaikan melalui kampanye, maka dalam pembuatan kampanye harus memiliki beberapa fungsi, antara lain:
- Mengubah pola pikir masyarakat
- Mencapai tujuan dengan menggugah kesadaran dan pendapat masyarakat pada isu tertentu
- Pengembangan usaha dengan membujuk khalayak membeli produk yang dipasarkan
- Membangun citra positif
Charles U. Larson (1992) sendiri membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori, yakni:
1. Kampanye produk (Product oriented campaigns) merupakan kegiatan kampanye yang berorientasi komersial, seperti peluncuran produk baru. Kampanye ini biasanya sekaligus bermuatan kepentingan untuk membangun citra positif terhadap produk barang yang diperkenalkan ke publik.
2. Kampanye pencalonan kandidat (Candidate Oriented Campaigns) adalah kampanye yang berorientasi politik, seperti kampanye Pemilu dan Pilkada.
1 Charles U. Larson (1992) menurut situs resmi Wikipedia Indonesia.
32
3. Kampanye ideologi atau misi sosial (Ideological or Cause Oriented Campaigns) adalah kampanye yang bersifat khusus keagamaan, berdimensi sosial, atau perubahan sosial, seperti melaksanakan kampanye Anti Narkoba, Anti HIV/AIDS dan Pengentasan Kemiskinan. Jenis kampanye yang nantinya akan diangkat dalam projek Tugas Akhir ini adalah jenis kampanye yang ke-3, yaitu Social Change Campaign. Lebih tepatnya lagi mengenai perancangan suatu visual yang nantinya ditujukan untuk mengajak masyarakat untuk memerangi tindak kejahatan women-trafficking dan meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap korban dari masalah yang bersangkutan.
Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal yang kompleks. Oleh karena itu Alvin L. Bertrand menyatakan bahwa pengertian perubahan sosial pada dasarnya tidak dapat diterangkan oleh dan berpegang teguh pada faktor yang tunggal. Menurut Robin Williams, bahwa pendapat dari faham diterminisme monofaktor kini sudah ketinggalan zaman, dan ilmu sosiologi modern tidak akan menggunakai interpretasi-interpretasi sepihak yang mengatakan bahwa perubahan itu hanya disebabkap oleh satu faktor saja.
Jadi jelaslah, bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut disebabkah oleh banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi. Karenanya perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu dikatakan berkaitan dengan hal yang kompleks. Tentang bentuk perubahan sosial ini, beberapa sosiolog memberikan beberapa definisi perubahan sosial yang dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami apa sebenarnya perubahan sosial tersebut, adalah sebagai berikut :
Pengertian Perubahan Sosial Menurut Ahli
  1. William F.Ogburn mengemukakan bahwa “ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial”.
  2. Kingsley Davis mengartikan “perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat”.
  3. MacIver mengatakan “perubahan-perubahan sosial merupakan sebagai perubahanperubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial”.
  4. JL.Gillin dan JP.Gillin mengatakan “perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, idiologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat”.
  5. Samuel Koenig mengatakan bahwa “perubahan sosial menunjukkan pada modifikasimodifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia”.f. Definisi lain adalah dari Selo Soemardjan. Rumusannya adalah “segala perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian perubahan sosial adalah perubahan perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, ataupun karena terjadinya perubahan dari faktor lingkungan, karena berubahnya komposisi penduduk, keadaan geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada lembaga kemasyarakatannya.
CONTOH KAMPANYE PERUBAHAN SOSIAL
Disini saya mengambil contoh salah satu kampanye perubahan sosial yaitu Anti Kekerasan Terhadap perempuan.
Strategi Komunikasi
Dalam strategi komunikasi Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini, digunakan tahap-tahap pendekatan komunikasi, yaitu: pendekatan rasional, pendekatan emosional, dan pendekatan komunikasi atau kreatif. Tiga tahap pendekatan ini dilakukan dalam rangka memperkuat konsep dari pesan yang disampaikan pada masyarakat sasaran sehingga tercipta suatu bentuk komunikasi yang efektif.
1. Pendekatan rasional/informatif
Pendekatan ini merupakan komunikasi yang dilakukan secara logis. Dimana penyampaian informasi dijabarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan akurat termasuk dari pengumpulan data tentang kekerasan terhadap perempuan dan kuesioner. Pendekatan ini dilakukan melalui tagline campaign, body text, copy write yang sifatnya ilmiah dan mudah dimengerti oleh masyarakat sasaran yang terdapat dalam suatu kombinasi visual dalam layout.
2. Pendekatan emosional
Merupakan pendekatan yang memiliki peran dalam mendukung penyampaian pesan atau informasi. Dimana pendekatan ini dilakukan untuk memancing rasa ingin tahu yang dilakukan secara emosional melalui visualisasi antara kombinasi foto atau image serta teknik grafis, warna, dan tagline yang menggugah sehingga masyarakat sasaran mendapatkan informasi secara menyeluruh dan termotivasi untuk melakukan tindakan yang diharapkan.
3. Pendekatan artistik atau kreatif
Pendekatan ini adalah bentuk pengolahan visualisasi yang dikombinasikan dengan komposisi, warna, tipografi yang menjadi satu kesatuan yang memiliki daya tarik. Pendekatan tersebut melalui:
- Menggunakan foto yang menunjukan wanita yang merupakan korban kekerasan terhadap perempuan tanpa memperlihatkan bagian tubuh yang seronok tetapi dengan ekspresi yang mengandung pesan dan ditambah lagi dengan aksen yang diciptakan dari mix media pada beberapa media promosi.
- Peran tagline yang menggugah.
- Menggunakan warna-warna cerah dan soft sebagai warna yang bersahabat yang ditujukan untuk semua orang.
4. Pendekatan Etika
Pendekatan ini dilakukan untuk mencegah timbulnya persepsi negatif (konotasi negatif) pada khalayak sasaran terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Hal ini ditekankan dari segi visual yang bukan menampilkan keadaan yang dapat memberi kesan menakut-nakuti target pasar yang dituju. Selain itu, yang ingin diperkuat dari kampanye sosial ini adalah kesan yang memberikan persepsi bahwa korban kekerasan terhadap perempuan butuh kasih sayang dan perhatian karena dengan sebuah sentuhan dapat menghapus sejuta beban mereka.

Tujuan Komunikasi
Proses Komunikasi yang ingin dituju adalah AIDCA (Attention, Interest, Desire, Conviction, and Action). Adapun proses komunikasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Attention (menarik perhatian masyarakat)
Sampai saat ini, sangat jarang sekali masyarakat yang sadar dan peduli kepada para korban kekerasan terhadap perempuan. Jikapun ada, masyarakat tidak melakukan tindakan apapun untuk memerangi masalah ini. Oleh karena itu, melalui kampanye sosial ini diharapkan dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk menggugah perhatian masyarakat melalui kombinasi visual yang kreatif dan unik. Komunikasi ini akan dijalankan sekitar 2 minggu sebelum kampanye ini dilangsungkan. Cara yang akan dilakukan adalah dengan membagikan tissue dan stickie note yang bertuliskan seruan minta tolong kepada audiens.
2. Interest (menarik minat masyarakat)
Timbulnya minat masyarakat sasaran terhadap informasi yang disampaikan dari program kampanye sosial ini sehingga munculnya rasa penasaran mereka untuk mengetahui isi pesan dari program. Komunikasi ini akan dijalankan sekitar 1 minggu sebelum kampanye ini dilangsungkan. Cara yang akan dilakukan adalah dengan menempelkan poster di cermin untuk mencari relawan yang ingin berpartisipasi dalam kampanye ini.
3. Desire (keinginan untuk mencari tahu)
Timbulnya keinginan masyarakat sasaran untuk mencari tahu tentang bahaya women-trafficking melalui media-media yang disediakan dalam ruang lingkup program kampanye. Dalam tahap ini diharapkan terjadi peningkatan awareness sehingga terdapat pendalaman dan penambahan pengetahuan pada masyarakat yang menuntun mereka pada motivasi untuk mencegah dan memerangi kasus ini. Komunikasi ini akan dijalankan pada saat kampanye berlangsung. Cara yang akan dilakukan adalah dengan menempelkan sticker berupa fakta di belakang pintu WC. Cara lain yang akan dilakukan dengan cara membagikan flyer dan brosur yang berisikan informasi apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam kampanye ini.
4. Conviction (keyakinan dan kepercayaan masyarakat sasaran)
Timbulnya keyakinan atau kepercayaan masyarakat sasaran terhadap informasiinformasi yang disampaikan dari program kampanye atau dengan kata lain pengertian mereka terhadap masalah ini semakin dalam sehingga emosi mereka tersentuh dan pada akhirnya akan tergerak dalam wujud tindakan. Di semua media yang dibagikan kepada masyarakat akan diarahkan untuk membuka website dan mendatangi booth. Di sana mereka akan diarahkan tentang apapun tentang kampanye ini.
5. Action (tindakan dari masyarakat sasaran)
Tindakan dapat diartikan sebagai perubahan persepsi, sikap, dan perilaku yang memotivasi   masyarakat untuk bertindak seperti yang diharapkan dengan tujuan kampanye. Diharapkan jika sudah mencapai pada komunikasi ini, masyarakat akan melakukan sebuah aksi yaitu dengan mencegah tindak kekerasan dengan cara mengedukasi orang lain secara dini dan memerangi tindak kekerasan terhadap perempuan.

Analisis SWOT Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Strenght
- Kampanye ini membahas kehidupan sehari-hari yang melekat, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat untuk ikut berkontribusi

Weakness
- Kurangnya kerja sama antara masyarakat dan aparat dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap perempuan
- Masyarakat tahu akan dampak buruk tindak kekerasan terhadap perempuan tetapi belum banyak orang yang peduli dengan masalah seperti ini

Opportunities
- Sebagai suatu wadah komunikasi sebagai upaya dalam menangani masalah sosial yang membahas tentang diskriminasi dan eksploitasi terhadap kaum perempuan
- Belum ada kampanye sejenis yang interaktif, biasanya hanya sebatas advertising pada print ads dan di webite saja
- Merupakan kegiatan positif yang didukung oleh banyak pihak

Threats
- Pandangan masyarakat yang lebih dulu menganggap rendah wanita korban kekerasan terhadap perempuanwalaupun masyarakat tahu akan dampak jika masalah ini terus berlanjut
- Munculnya bentuk-bentuk komunikasi lain yang mengangkat masalah serupa

Daftar Pustaka
prof. Stewart H. Rewoldt, 1991 . Perencanaan dan Strategi Pemasaran. Jakarta: Rineka Cipta

PSIKOLOGI DAN PENERAPANNYA DALAM BIDANG KRIMINAL Oleh : Alisia Witanti (F1D210090)




Psikologi adalah sebuah bidang yang mempelajari mengenai perilaku dan kognisi manusia. menurut asal katanya, psikologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno (PsychÄ“ yang berarti jiwa) dan  (-logia yang artinya ilmu) sehingga secara etiemologi, psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik ?

1.      DEFINISI PSIKOLOGI FORENSIK
Secara umum psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik?
Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah, universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.
Sundberg et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian sistem hukum atau sistem peradilan.
Committee on ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua pekerjaan psikologi yang secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses hukum, fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas judisial. Layanana psikologi forensik pada Psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR).

2.      SEJARAH PSIKOLOGI FORENSIK
Pada tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan orang --- suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.
Pada tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense.
Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.
Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat, dan praktis.
Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education. Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.
Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia)

3.      PENERAPAN PSIKOLOGI FORENSIK
Penerapan psikologi forensik adalah sebagai:
  1. Ahli judisial yang menelaah variabel variabel yang berperan dalam tindak kejahatan 
  2. Evaluasi mental korban kecelakaan kerja 
  3. Edukasi kepada penuntut dan pembela hukum tentang aspek aspek psikologis penganiayaan seksual pada anak 
  4. Dll
Fungsi utama dalam setting hukum adalah membantu para administrator, hakim, anggota juri dan pengacara dalam mengambil keputusan hukum yang lebih didasari informasi yang cukup.
Masalah – masalah yang dieksplorasi:
  • Kajian psikologis tentang kriminal (psichology of criminal conduct, psychology of criminal behavior, criminal psychology) 
  • Forensic clinical psychology and correctional psychologicy -> konsentrasi pada assesment dan penanganan / rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial 
  • Police psychology, investigative psychology, behavioral science -> mempelajari metode – metode yang digunakan lembaga kepolisian 
  • Psychology and law -> fokus pada proses persidangan hukum, sikap serta keyakinan keyakinan para partisipan
Cakupan area bidang kerja psikologi forensik adalah:
  1. Assesmen kompetensi mental 
  2. Assesmen keadaan mental pada saat kejadian 
  3. Evaluasi hak asuh anak 
  4. Asesmen terhadap cedera atau disabilitas mental
  Psikologi Forensik preventif:
  1. Rekomendasi penetapan hukuman 
  2. kekerasan di sekolah 
  3. kekerasan di tempat kerja 
  4. penganiayaan seksual anak 
  5. Terorisme 
  6. tindak kejahatan

Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena tindakan kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya mencoba dari sisi psikologis pelakunya.  Sudut pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata hanya sebagai penjelasan. 

Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya berawal dari penjelasan yang diberikan oleh folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku kriminal

A. Pendekatan Tipologi Fisik/Kepribadian yang memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan perilaku kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Kretchmerh dan Sheldon: Kretchmer dengan constitutional personality, melihat hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga tipejarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm  berupada sistem digestif (pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian.  William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe. a)     Endomorf:  Gemuk (Obese), lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabal. b)     Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athletic people), asertif,  vigorous, and bold.c)      Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otk berkembang dengan baik (well developed brain),   Introverted, sensitive, and nervous Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.  Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar.  Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu  dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan. 

B. Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang kepribadian yang menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadain kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian.  Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama. 

C. Pendekatan Psikoanalisis dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang.  Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya.  Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya.  Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.

D. Pendekatan Teori Belajar Sosial yang dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang) merupakan contoh baik tuntuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain.  Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicarious reinforcement)Tampaknya metode ini yang paling berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar perilaku manusia dipelajari melalui observasi terhadap model mengenai perilaku tertentu. 

E. Pendekatan Teori Kognitif yang selalu menuntut kita untuk menanyakan apakah pelaku kriminal memiliki pikiran yang berbeda dengan orang “normal”? Yochelson & Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan.
Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas.
Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab perilaku kriminal? Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal.  Berikut ini kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar  hal ini. Kemiskinan merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an) . Atavistic trait atau  Sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare  Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila  sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal.  Teori di atas, tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak.   Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.

Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana?  Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.   

Dengan demikian bagaimana cara penanganan perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan.
a) Hukuman selama ini hukuman (punishment) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya.
b) Penghilang Model melalui tayanganMedia masa itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan masyarakat tidak bersiap-siap.
c) Membatasi Kesempatan Seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri.
d) Jaga diri. Jaga diri dengan ketrampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat. 
4br /> Cara-cara di atas memang tidak merupakan cara yang paling efektif, hanya saja akan tepat bila diterapkan kasus per kasus.   

4. Treatment Psikologis
Terdapat implikasi yang luas tentang forensic treatment bagi mereka yang menghadapi kasus-kasus hukum. Dalam kasus kriminal, terapi mungkin difokuskan untuk memulihkan keadaan inkompetensi mental menjadi kompetensi untuk menjalani proses pengadilan, atau terapi mungkin dilakukan untuk memberikan dukungan emosional untuk orang yang menghadapi kurungan. untuk pelaku kejahatan, sering kali fokusnya adalah pada masalah kepribadian, perilaku sexual, dan keagresifan.
Kadang-kadang terapi dilaksanakan ketika orang itu ada dalam tahanan, tetapi kadang-kadang juga dilakukan di luar tahanan sebagai pasien rawat jalan bagi mereka yang dibebaskan dengan jaminan atau dibebaskan untuk masa percobaan. Bentuk terapi yang digunakan dapat berupa terapi individual ataupun kelompok yang menggunakan berbagai teknik dan pendekatan termasuk teknik behavioral dan pendekatan kognitif. Salah satu masalah utama bagi klinikus forensik adalah pengetahuan yang diperlukan dalam kesaksian dalam pengadilan.
Apa yang diinginkan oleh pengadilan, apa yang akan diizinkan oleh pengacara klien, apa yang terbaik untuk klien, dan apa yang terbaik menurut pandangan klinikus mungkin akan konflik dan mengakibatkan banyak masalah. Dalam persoalan hak asuh atas anak, masalah treatment dan konflik di antara orang tua dan anak dapat sangat sulit. misalnya, untuk kepentingan anak, orang tua sebaiknya menjalani terapi, tetapi kadang-kadang salah seorang atau bahkan keduanya menolaknya.
5. Konsultasi
Aktivitas lain yang umum dilakukan oleh seorang psikolog forensik adalah konsultasi, yang mencakup bidang-bidang berikut ini.
Seleksi Juri. Seorang psikolog forensik dapat bekerja dengan pengacara dalam proses penyeleksian juri. Dalam fase ini, pengacara mempunyai kesempatan untuk menemukan bias pada diri calon anggota juri; memperoleh informasi untuk mengajukan tantangan-tantangan yang tak dapat dibantah (sejumlah tertentu tantangan yang diizinkan bagi masing-masing pihak dalam sidang pengadilan untuk menggugurkan pemikiran anggota juri karena dianggap bias terhadap satu pihak tertentu); untuk mengambil hati anggota juri atau membuat mereka memihak; atau untuk mengindoktrinasi anggota juri agar mereka bersikap reseptif terhadap presentasi pengacara. Ini semua dirancang untuk memberikan kekuatan kepada pengacara.
Jury Shadowing. Di sini, konsultan menyewa anggota juri analog (yaitu individu yang serupa dengan mereka yang benar-benar berfungsi sebagai anggota juri) sebagai juri bayangan. Konsultan memonitor reaksi juri bayangan ini terhadap kesaksian yang disajikan dalam sidang pengadilan. Dengan cara ini, konsultan dan pengacara dapat mengantisipasi reaksi dan kesan juri yang sesungguhnya dan mempersiapkan strategi dalam menghadapi pengadilan secara lebih baik.
Survey Opini Publik. Dalam kasus tuntutan tentang merek dagang, misalnya, seorang pengacara dapat menyewa konsultan psikologi untuk menentukan pengakuan publik terhadap nama atau simbol perusahaan tertentu melalui survey. Dalam kasus lain, sebuah survey opini mungkin dilaksanakan terhadap perwakilan sampel orang dari daerah geografis yang sama di mana pengadilan akan dilaksanakan, dengan menanyakan opini mereka mengenai kasus yang bersangkutan dan mengenai taktik sidang pengadilan yang telah direncanakan oleh pengacara. Survey ini memungkinkan pengacara mengaadakan pretest tentang signifikansi suatu isu yang akan diangkatnya dalam sidang pengadilan dan memperkenalkan metode yang akan digunakannya dalam mengajukan bukti. Survey juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perubahan lokasi sidang pengadilan pantas untuk diusulkan. Sikap masyarakat tentang sidang pengadilan, dan khususnya terhadap terdakwa, dapat dibangkitkan untuk membantu meyakinkan pengadilan agar mengubah lokasi sidang dan juga untuk membantu dalam proses seleksi juri.
Mempersiapkan Saksi. Tidak etis bagi seorang konsultan untuk mempengaruhi saksi agar mengubah fakta-fakta dalam kesaksian. Yang dapat dilakukannya adalah membantu saksi menyajikan kesaksiannya secara lebih baik tanpa mengubah fakta yang merupakan arah kesaksiannya itu. Karena ini merupakan hal yang sangat sensitif, konsultan tertentu tidak akan bersedia bekerja untuk kasus kriminal, hanya untuk kasus perdata. Aspek-aspek yang ditanganinya dalam mempersiapkan saksi ini mencakup gaya menyajikan fakta, emosi saksi, upaya mempersiapkan pengalaman menjadi seorang saksi di dalam ruang pengadilan, menghadapi pemeriksaan silang, mempersiapkan penampilannya, dan cara menghadapi ancaman dari jaksa terhadap kredibilitas saksi. Akan tetapi, terdapat batas yang sangat tipis antara memberikan bantuan untuk mempersiapkan saksi dan mendorongnya mengubah kesaksiannya.
Meyakinkan Juri. Konsultan sering dapat membantu pengacara dalam merancang caranya mempresentasikan kasus dan bukti. Konsultan dapat membantu pengacara dalam memprediksi respon juri terhadap jenis bukti tertentu atau metode penyajiannya, terutama dalam argumen pembuka dan penutup. Di sini yang menjadi target adalah keyakinan, perasaan, dan perilaku para anggota juri. Kemudian konsultan merumuskan cara terbaik bagi pengacara dalam mempresentasikan kasus.

Daftar Pustaka
Departemen Kehakiman Republik Indonesia. 1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Jakarta : Yayasan Pengayoman

Drs. H. Junaid,M.Kes, 2011. Psikologi Kesehatan. Kendari

Moeljatno. 1982. Azas-azas Hukum Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.