Psikologi adalah sebuah bidang yang mempelajari mengenai perilaku dan
kognisi manusia. menurut asal katanya, psikologi berasal
dari Bahasa Yunani Kuno (Psychē yang berarti jiwa)
dan (-logia yang artinya ilmu)
sehingga secara etiemologi,
psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa.
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap
kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang
dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi
kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan,
psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan,
psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini
sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan
yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik ?
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik ?
1. DEFINISI
PSIKOLOGI FORENSIK
Secara
umum psikologi forensik dibangun oleh dua displin ilmu yang beririsan yakni
psikologi dan hukum yang melahirkan psikologi forensik. Psikologi adalah ilmu
yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia
maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali
dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya
menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen,
psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada
kenyataannya di Amerika Serikat, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian,
mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya
sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik?
Psikologi
forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam
sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anak-anak maupun orang
dewasa. Semua jenis institusi, mencakup korporasi, lembaga pemerintah,
universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat
terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum.
Sundberg
et,al (2007) memberikan defenisi psikologi ferensik sebagai kajian ilmiah
psikologi termasuk isu – isu klinis yang diaplikasikan pada beberapa bagian
sistem hukum atau sistem peradilan.
Committee
on ethical guidelines for forensic psychologists (1991), psikologi adalah semua pekerjaan psikologi yang
secara langsung membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat proses hukum,
fasilitas-fasilitas kesehatan mental koreksional dan forensik, dan badan badan
adminitratif, judikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas
judisial. Layanana psikologi forensik pada Psikologi hukum adalah semua bentuk
pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
Meliala
(2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah yang dapat memayungi
luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi forensik di
Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk
komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik
Indonesia (APSIFOR).
2. SEJARAH PSIKOLOGI FORENSIK
Pada
tahun 1901, William Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan
ingatan orang --- suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan
pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya
kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi
dapat diaplikasikan pada hukum. Kemudian John Watson juga mengemukakan bahwa
psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.
Pada
tahun 1908, Hugo von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang the Witness
Stand. Dia mengeluhkan bahwa tidak ada orang yang lebih resisten daripada
insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan.
Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya
berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik
hanyalah common sense.
Prof.
John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern
University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk
menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang
menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena
telah menyebarkan fitnah, dituduh telah membesar-besarkan peranan yang dapat
ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang
terjadi di kalangan para psikolog sendiri, dan tidak dapat memahami perbedaan
antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja
“pengadilan” itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus
membayar denda.
Serangan
Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan sehingga baru 25 tahun kemudian
psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan
tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 30 tahun kemudian, Wigmore
memperlunak kritiknya. Dia menyatakan bahwa pengadilan seyogyanya siap
menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara
yang sehat, akurat, dan praktis.
Namun
demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun
1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada
ilmu-ilmu sosial dalam kasus dissegregasi Brown v. Board of Education.
Kemudian, pada tahun 1962 Hakim Bazelon, yang menulis tentang the U.S. Court
of Appeals untuk the District of Columhia Circuit, untuk pertama
kalinya menyatakan bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan
kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam bidang gangguan mental.
Kini,
psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum
termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di samping itu,
mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam
sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik di mana
terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan
interdisiplin sudah menjadi sesuatu yang lazim, dan berbagai buku dan jurnal
dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.
Guna
dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu
menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai
psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari
psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi
kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding
psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi
klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen
yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian
dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi
anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi
sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi
sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog
forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di
kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal
ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung
dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam. Untuk itulah
dibutuhkan suatu asosiasi yang menjadi perekat bagi psikolog yang berminat pada
psikologi forensik. HIMPSI sudah membuat asosiasi itu yaitu APSIFOR (Asosiasi
Psikologi Forensik Indonesia)
3. PENERAPAN
PSIKOLOGI FORENSIK
Penerapan
psikologi forensik adalah sebagai:
- Ahli judisial yang menelaah variabel variabel yang berperan dalam tindak kejahatan
- Evaluasi mental korban kecelakaan kerja
- Edukasi kepada penuntut dan pembela hukum tentang aspek aspek psikologis penganiayaan seksual pada anak
- Dll
Fungsi
utama dalam setting hukum adalah membantu para administrator, hakim, anggota
juri dan pengacara dalam mengambil keputusan hukum yang lebih didasari
informasi yang cukup.
Masalah – masalah yang dieksplorasi:
- Kajian psikologis tentang kriminal (psichology of criminal conduct, psychology of criminal behavior, criminal psychology)
- Forensic clinical psychology and correctional psychologicy -> konsentrasi pada assesment dan penanganan / rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial
- Police psychology, investigative psychology, behavioral science -> mempelajari metode – metode yang digunakan lembaga kepolisian
- Psychology and law -> fokus pada proses persidangan hukum, sikap serta keyakinan keyakinan para partisipan
Cakupan area bidang kerja psikologi
forensik adalah:
- Assesmen kompetensi mental
- Assesmen keadaan mental pada saat kejadian
- Evaluasi hak asuh anak
- Asesmen terhadap cedera atau disabilitas mental
Psikologi Forensik preventif:
- Rekomendasi penetapan hukuman
- kekerasan di sekolah
- kekerasan di tempat kerja
- penganiayaan seksual anak
- Terorisme
- tindak kejahatan
Banyak
sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena tindakan
kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya mencoba dari sisi psikologis
pelakunya. Sudut pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya,
melainkan semata-mata hanya sebagai penjelasan.
Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya berawal dari penjelasan yang diberikan oleh folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku kriminal
A. Pendekatan Tipologi Fisik/Kepribadian yang memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan perilaku kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Kretchmerh dan Sheldon: Kretchmer dengan constitutional personality, melihat hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga tipejarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm berupada sistem digestif (pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian. William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe. a) Endomorf: Gemuk (Obese), lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabal. b) Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athletic people), asertif, vigorous, and bold.c) Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otk berkembang dengan baik (well developed brain), Introverted, sensitive, and nervous Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal. Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan.
B. Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang kepribadian yang menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadain kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian. Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama.
C. Pendekatan Psikoanalisis dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya. Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya. Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.
Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya berawal dari penjelasan yang diberikan oleh folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku kriminal
A. Pendekatan Tipologi Fisik/Kepribadian yang memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan perilaku kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Kretchmerh dan Sheldon: Kretchmer dengan constitutional personality, melihat hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga tipejarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm berupada sistem digestif (pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian. William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe. a) Endomorf: Gemuk (Obese), lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabal. b) Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athletic people), asertif, vigorous, and bold.c) Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otk berkembang dengan baik (well developed brain), Introverted, sensitive, and nervous Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal. Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan.
B. Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang kepribadian yang menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadain kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian. Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama.
C. Pendekatan Psikoanalisis dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya. Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya. Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.
D. Pendekatan Teori Belajar Sosial
yang dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model
dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur
tertentu (gang) merupakan contoh baik tuntuk terbentuknya perilaku kriminal
orang lain. Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan
cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada
dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara
tidak langsung (melalui vicarious reinforcement)Tampaknya metode ini yang
paling berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar
perilaku manusia dipelajari melalui observasi terhadap model mengenai perilaku
tertentu.
E. Pendekatan Teori Kognitif yang selalu menuntut kita untuk menanyakan apakah pelaku kriminal memiliki pikiran yang berbeda dengan orang “normal”? Yochelson & Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan.
Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas.
Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab perilaku kriminal? Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar hal ini. Kemiskinan merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an) . Atavistic trait atau Sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori di atas, tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak. Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.
Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana? Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.
Dengan demikian bagaimana cara penanganan perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan.
a) Hukuman selama ini hukuman (punishment) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya.
b) Penghilang Model melalui tayanganMedia masa itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan masyarakat tidak bersiap-siap.
c) Membatasi Kesempatan Seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri.
d) Jaga diri. Jaga diri dengan ketrampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
4br /> Cara-cara di atas memang tidak merupakan cara yang paling efektif, hanya saja akan tepat bila diterapkan kasus per kasus.
E. Pendekatan Teori Kognitif yang selalu menuntut kita untuk menanyakan apakah pelaku kriminal memiliki pikiran yang berbeda dengan orang “normal”? Yochelson & Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan.
Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas.
Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab perilaku kriminal? Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar hal ini. Kemiskinan merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an) . Atavistic trait atau Sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori di atas, tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak. Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.
Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana? Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.
Dengan demikian bagaimana cara penanganan perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan.
a) Hukuman selama ini hukuman (punishment) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya.
b) Penghilang Model melalui tayanganMedia masa itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan masyarakat tidak bersiap-siap.
c) Membatasi Kesempatan Seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri.
d) Jaga diri. Jaga diri dengan ketrampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
4br /> Cara-cara di atas memang tidak merupakan cara yang paling efektif, hanya saja akan tepat bila diterapkan kasus per kasus.
4. Treatment Psikologis
Terdapat
implikasi yang luas tentang forensic treatment bagi mereka yang menghadapi
kasus-kasus hukum. Dalam kasus kriminal, terapi mungkin difokuskan untuk
memulihkan keadaan inkompetensi mental menjadi kompetensi untuk menjalani
proses pengadilan, atau terapi mungkin dilakukan untuk memberikan dukungan
emosional untuk orang yang menghadapi kurungan. untuk pelaku kejahatan, sering
kali fokusnya adalah pada masalah kepribadian, perilaku sexual, dan
keagresifan.
Kadang-kadang
terapi dilaksanakan ketika orang itu ada dalam tahanan, tetapi kadang-kadang
juga dilakukan di luar tahanan sebagai pasien rawat jalan bagi mereka yang
dibebaskan dengan jaminan atau dibebaskan untuk masa percobaan. Bentuk terapi
yang digunakan dapat berupa terapi individual ataupun kelompok yang menggunakan
berbagai teknik dan pendekatan termasuk teknik behavioral dan pendekatan
kognitif. Salah satu masalah utama bagi klinikus forensik adalah pengetahuan
yang diperlukan dalam kesaksian dalam pengadilan.
Apa
yang diinginkan oleh pengadilan, apa yang akan diizinkan oleh pengacara klien,
apa yang terbaik untuk klien, dan apa yang terbaik menurut pandangan klinikus
mungkin akan konflik dan mengakibatkan banyak masalah. Dalam persoalan hak asuh
atas anak, masalah treatment dan konflik di antara orang tua dan anak dapat
sangat sulit. misalnya, untuk kepentingan anak, orang tua sebaiknya menjalani
terapi, tetapi kadang-kadang salah seorang atau bahkan keduanya menolaknya.
5.
Konsultasi
Aktivitas
lain yang umum dilakukan oleh seorang psikolog forensik adalah konsultasi, yang
mencakup bidang-bidang berikut ini.
Seleksi
Juri. Seorang psikolog forensik dapat
bekerja dengan pengacara dalam proses penyeleksian juri. Dalam fase ini,
pengacara mempunyai kesempatan untuk menemukan bias pada diri calon anggota
juri; memperoleh informasi untuk mengajukan tantangan-tantangan yang tak dapat
dibantah (sejumlah tertentu tantangan yang diizinkan bagi masing-masing pihak
dalam sidang pengadilan untuk menggugurkan pemikiran anggota juri karena
dianggap bias terhadap satu pihak tertentu); untuk mengambil hati anggota juri
atau membuat mereka memihak; atau untuk mengindoktrinasi anggota juri agar
mereka bersikap reseptif terhadap presentasi pengacara. Ini semua dirancang
untuk memberikan kekuatan kepada pengacara.
Jury
Shadowing. Di sini, konsultan menyewa anggota
juri analog (yaitu individu yang serupa dengan mereka yang benar-benar
berfungsi sebagai anggota juri) sebagai juri bayangan. Konsultan memonitor
reaksi juri bayangan ini terhadap kesaksian yang disajikan dalam sidang
pengadilan. Dengan cara ini, konsultan dan pengacara dapat mengantisipasi
reaksi dan kesan juri yang sesungguhnya dan mempersiapkan strategi dalam
menghadapi pengadilan secara lebih baik.
Survey
Opini Publik. Dalam kasus tuntutan tentang merek
dagang, misalnya, seorang pengacara dapat menyewa konsultan psikologi untuk
menentukan pengakuan publik terhadap nama atau simbol perusahaan tertentu
melalui survey. Dalam kasus lain, sebuah survey opini mungkin dilaksanakan
terhadap perwakilan sampel orang dari daerah geografis yang sama di mana
pengadilan akan dilaksanakan, dengan menanyakan opini mereka mengenai kasus
yang bersangkutan dan mengenai taktik sidang pengadilan yang telah direncanakan
oleh pengacara. Survey ini memungkinkan pengacara mengaadakan pretest tentang
signifikansi suatu isu yang akan diangkatnya dalam sidang pengadilan dan
memperkenalkan metode yang akan digunakannya dalam mengajukan bukti. Survey
juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perubahan lokasi sidang pengadilan
pantas untuk diusulkan. Sikap masyarakat tentang sidang pengadilan, dan
khususnya terhadap terdakwa, dapat dibangkitkan untuk membantu meyakinkan
pengadilan agar mengubah lokasi sidang dan juga untuk membantu dalam proses
seleksi juri.
Mempersiapkan
Saksi. Tidak etis bagi seorang konsultan
untuk mempengaruhi saksi agar mengubah fakta-fakta dalam kesaksian. Yang dapat
dilakukannya adalah membantu saksi menyajikan kesaksiannya secara lebih baik
tanpa mengubah fakta yang merupakan arah kesaksiannya itu. Karena ini merupakan
hal yang sangat sensitif, konsultan tertentu tidak akan bersedia bekerja untuk
kasus kriminal, hanya untuk kasus perdata. Aspek-aspek yang ditanganinya dalam
mempersiapkan saksi ini mencakup gaya menyajikan fakta, emosi saksi, upaya
mempersiapkan pengalaman menjadi seorang saksi di dalam ruang pengadilan,
menghadapi pemeriksaan silang, mempersiapkan penampilannya, dan cara menghadapi
ancaman dari jaksa terhadap kredibilitas saksi. Akan tetapi, terdapat batas
yang sangat tipis antara memberikan bantuan untuk mempersiapkan saksi dan
mendorongnya mengubah kesaksiannya.
Meyakinkan
Juri. Konsultan sering dapat membantu
pengacara dalam merancang caranya mempresentasikan kasus dan bukti. Konsultan
dapat membantu pengacara dalam memprediksi respon juri terhadap jenis bukti
tertentu atau metode penyajiannya, terutama dalam argumen pembuka dan penutup.
Di sini yang menjadi target adalah keyakinan, perasaan, dan perilaku para
anggota juri. Kemudian konsultan merumuskan cara terbaik bagi pengacara dalam
mempresentasikan kasus.
Daftar Pustaka
Departemen Kehakiman Republik
Indonesia. 1982. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana.
Jakarta : Yayasan Pengayoman
Drs. H. Junaid,M.Kes, 2011. Psikologi Kesehatan. Kendari
Moeljatno. 1982. Azas-azas Hukum
Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar